Selasa, 08 Juni 2010

Kepada Siapa Lagi Kita Harus Bercermin?

Sungguh miris saat membaca sebuah berita di Kompas edisi 15 Februari 2010 kemarin. Di salah satu kolomnya, diberitakan tentang tindakan memalukan beberapa calon guru besar di sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Oknum pendidik tersebut telah menjiplak karya tulis milik orang lain hanya demi memperoleh gelar sebagai guru besar. Bisa jadi, banyak kasus serupa yang tidak terungkap di media.
Kasus yang hampir sama juga banyak ditemui dikalangan guru-guru kita. Kenaikan gaji dengan syarat sertifikasi telah membuat para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini rela bersusah payah melanjutkan kuliah S1 bahkan S2. Mereka melanjutkan studi bukan untuk meningkatkan kualitas tapi mengejar gaji yang mungkin akan memenuhi kas rumah tangga. Ironisnya, beberapa dari mereka ada yang melakukan segala cara, diantaranya jual beli ijazah tanpa harus bersusah payah kuliah, untuk memenuhi syarat mendapat sertifikat demi gaji berlipat.
Mereka juga berlomba-lomba melakukan berbagai penelitian, menambah jam mengajar, dan cara-cara lain yang dianggap dapat segera meningkatkan poin mendapat sertifikat sebagai guru berbakat. Setelah semua misi mereka dapatkan, pelan tapi pasti mereka akan melupakan status profesional yang disandangnya. Kembali menjadi guru yang mengajar hanya sekadar memenuhi kewajiban tanpa ada pemikiran bagaimana menciptakan gererasi harapan.
Ada juga kasus lain yang tidak kalah menghebohkan. Di beberapa daerah, para guru mengaji ditangkap polisi karena telah dengan sadar mencabuli santrinya sendiri. Kasus terbaru yang masih hangat dalam ingatan adalah ulah seorang guru spiritual yang dilaporkan oleh para pengikutnya dengan dugaan telah melakukan pelecehan seksual pada mereka. 
Apakah kekusaan, gelar, jabatan, dan sejenisnya adalah segalanya bagi para panutan bangsa ini? Saat masyarakat dibuat pusing oleh kasus korupsi yang seakan tiada berakhir, kini muncul para pendidik yang bermoral pecundang. Tanpa malu mereka menghianati kepercayaan masyarakat yang terlanjur diberikan. Berkhianat hanya demi kenaikan jabatan, kenaikan gaji, dan nafsu bejat sesaat.
Kalau sudah begini, kepada siapa lagi kita harus bercermin? Para pejabat banyak yang sudah menanggalkan amanahnya dengan terus berlomba-lomba memakan kekayaan rakyat. Mereka sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan golongan tanpa peduli sama sekali dengan sebagian rakyatnya yang masih kelaparan. Hanya sedikit yang masih konsisten dengan komitmen mereka saat menerima jabatan. Jadi untuk menjadi panutan, sungguh tinggal sedikit harapan bagi kita.
Guru-guru kita, yang sering digaungkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Entah tinggal berapa yang benar-benar bisa menjadi panutan. Karena diantara mereka, sudah mulai ketularan budaya para pejabat, melakukan segala cara hanya untuk mencapai materi yang diharapkan. Gurunya saja seperti itu, bagaimana dengan muridnya. Ada pepatah mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kondisi seperti ini jika terus dibudayakan, bagimana nasib Indonesia ke depan? Pasti akan sangat memilukan.
Satu-satunya yang bisa menjadi cermin hanyalah hati nurani kita masing-masing. Sudahkah kita menjadi manusia yang mempunyai hati nurani? Melaksanakan amanah sekecil apapun dengan jujur tanpa berusaha menyinggung kecurangan, kemunafikan, dan pengambilan kesempatan tanpa meningalkan tanggub jawab yang dibebankan. Sikap terpijak adalah, mulai bercermin pada diri sendiri dengan hati nurani sebagai koreksi.


Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
orang bilang sih cantik (hehe...soale tak paksa) gemar menulis, gemar membaca, gemar makan, gemar melamun, gemar nglayap, gemar tidur, pokoknya yang asik2 suka deh. aku sekarang jadi guru...terpaksa daripada dibilang pengangguran, tapi itu sementara kok. nanti saat waktunya tiba aku akan jadi presiden, haha dalam mimpi kali. yang pasti, aku adalah manusia jauh dari sempurna yang tetap mencoba, berusaha, latihan, berdoa, untuk menjadi lebih baik dan diridhoi Allah. InsyaAllah. Amin....