Selasa, 08 Juni 2010

NEGERI CERITA, INDONESIA

SYAHDAN di sebuah negeri antah berantah, kehidupan masyarakat semakin hari semakin tidak menentu. Barang-barang keputuhan pokok semakin melambung tinggi. Lapangan pekerjaanpun semakin sulit ditemui. Kemiskinan begitu menjerat kehidupan rakyat. Kekerasaan dimana-mana. Semua ingin meminta dan mempertahankan haknya. Hak yang sebenarnya sulit di dapat ditengah kewajiban-kewajiban membayar pajak tanpa kenal tunda, tanpa kenal belas kasihan. Pokoknya semua wajib membayar pajak apabila hidup di negeri tersebut.
Kemiskinan dan kesengsaraan rakyat kian meraja lela saat punggawa kerajaan lebih banyak yang korupsi dari pada yang mengabdi. Mafia-mafia keji berada hampir di sudut negeri. Berlomba-lomba mengeruk kekayaan pribadi dengan cara apapun tak kenal lagi harga diri. Mereka sudah lupa dengan rakyat yang dipimpinnya, lupa dengan janji setia saat jabataan di dapat. Buta mata saat mengelola uang rakyat. 
Sementara itu, para wakil rakyat yang dipilih untuk menjadi tempat berlindung, tempat mengadu, tempat berkeluh kesah sudah lupa diri. Menangani kasus-kasus korupsi punggawa kerajaan dengan niat politis semata. demi mempertkuat kuasa. Bahkan tersiar kabar, bahwa sebentar lagi mereka akan membangun istana. Istana yang begitu megah dan mewah tak lagi memuaskan mereka. Seribu alasan dikeluarkan demi memperoleh anggaran. Rakyat hanya bisa menangis kelu. Uang mereka lagi yang kena. Jatah mereka lagi yang terpotong, demi sebuah angan kosong para pejabat yang senang bohong.

TIDAK akan cukup beribu cerita mengisahkan negeri kita. Terlalu buram sejarah, terlalu pekat masalah. Kini rakyat kembali diberi sebuah pertunjukan sandiwara yang sudah pasti terjadi. Mau protes, demo, seperti apapun, pemugaran gedung yang sebenarnya sudah terlalu mewah DPR RI pasti akan terus terjadi. Rakyat, mahasiswa, pekerja, dan kalangan lain yang tidak punya kuasa , hanya bisa mengelus dada. Beginikah hasil kerja para wakil kita di Senayan tercinta.
Pembangunan atau pemugaran gedung tidak akan menjadi masalah saat para wakil rakyat sudah berkerja sesuai tugas dan kewajibannya. Fasilitas yang baik memang akan mempengaruhui kinerja, memperngaruhi kenyamanan berjuang untuk masyarakat yang diwakilinya. Namun dengan kenyataan selama ini, wakil rakyat harusnya malu saat mengusulkan pemugaran gedung baru dengan biaya fantatatis, 1,8 triliyun. Padahal masih banyak disudut-sudut negeri, masyarakat yang menderita. Berjuang setengah mati untuk bisa hidup dan mempertahankan diri. 
Masyarakat bisa menilai hasil kerja wakil mereka selama ini. Tidak ada yang membanggakan selain hanya ribut dan saling adu kekuatan. Rapat dengan emosi, membentuk pansus untuk memperkaya diri karena upah yang menggiurkan hati. Menyelidiki kasus dengan setengah hati, karena takut menghambat kepentingan dan kekuasaan yang sudah dimilki. Seyogyanyalah mereka bisa mengukur diri dan kinerja selama ini sebelum membuat rencana memugar gedung DPR RI. Dana yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dana yang dibutuhkan dari uang rakyat yang masih banyak menderita dan sakit.
Anggota dewan kita menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan karena gedung mengalami kemiringan hampir tujuh derajat. Namun hasil penelitian Balitbang PU, tidak ditemukan kemiringan tujuh derajat, pasca gempa bumi, pada 15 September 2009. Pemeriksaan dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pemeriksaan visual dan pemeriksaan secara rinci. Hasilnya, ditemukan, ada keretakan dengan kedalaman 10-18 cm, dan telah melebihi ketebalan selimut beton (4-5cm). Kerusakan yang terjadi hanya retakan yang tidak begitu membahayakan. Sebenarnya dengan dilakukan penyuntikan beton sudah cukup. Namun dengan berbagai alasan tambahan, mereka tetap mengusulkan pemugaran yang menghabiskan dana truilyunan. 
Kegetolan para anggota dewan untuk tetap memugar istana mereka tentu saja menimbulkan tanya. Ada maksud apakah dibalik pemugaran gedung tersebut? Apakah semata-mata untuk renovasi ataukah ada maksud politis yang mengikuti? Rakyat hanya bisa mengira-ira. Hanya bisa melihat dan mengelus dada. Semua tidak ada yang bisa dipercaya kini. Semua sudah sibuk dengan kepentingan pribadi dan golongan sendiri. Sehingga, segala upaya jadi cara, segala ide jadi strategi. Tentunya rakyat lagi yang merugi, karena jatah mereka akan terkurangi.



Kepada Siapa Lagi Kita Harus Bercermin?

Sungguh miris saat membaca sebuah berita di Kompas edisi 15 Februari 2010 kemarin. Di salah satu kolomnya, diberitakan tentang tindakan memalukan beberapa calon guru besar di sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Oknum pendidik tersebut telah menjiplak karya tulis milik orang lain hanya demi memperoleh gelar sebagai guru besar. Bisa jadi, banyak kasus serupa yang tidak terungkap di media.
Kasus yang hampir sama juga banyak ditemui dikalangan guru-guru kita. Kenaikan gaji dengan syarat sertifikasi telah membuat para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini rela bersusah payah melanjutkan kuliah S1 bahkan S2. Mereka melanjutkan studi bukan untuk meningkatkan kualitas tapi mengejar gaji yang mungkin akan memenuhi kas rumah tangga. Ironisnya, beberapa dari mereka ada yang melakukan segala cara, diantaranya jual beli ijazah tanpa harus bersusah payah kuliah, untuk memenuhi syarat mendapat sertifikat demi gaji berlipat.
Mereka juga berlomba-lomba melakukan berbagai penelitian, menambah jam mengajar, dan cara-cara lain yang dianggap dapat segera meningkatkan poin mendapat sertifikat sebagai guru berbakat. Setelah semua misi mereka dapatkan, pelan tapi pasti mereka akan melupakan status profesional yang disandangnya. Kembali menjadi guru yang mengajar hanya sekadar memenuhi kewajiban tanpa ada pemikiran bagaimana menciptakan gererasi harapan.
Ada juga kasus lain yang tidak kalah menghebohkan. Di beberapa daerah, para guru mengaji ditangkap polisi karena telah dengan sadar mencabuli santrinya sendiri. Kasus terbaru yang masih hangat dalam ingatan adalah ulah seorang guru spiritual yang dilaporkan oleh para pengikutnya dengan dugaan telah melakukan pelecehan seksual pada mereka. 
Apakah kekusaan, gelar, jabatan, dan sejenisnya adalah segalanya bagi para panutan bangsa ini? Saat masyarakat dibuat pusing oleh kasus korupsi yang seakan tiada berakhir, kini muncul para pendidik yang bermoral pecundang. Tanpa malu mereka menghianati kepercayaan masyarakat yang terlanjur diberikan. Berkhianat hanya demi kenaikan jabatan, kenaikan gaji, dan nafsu bejat sesaat.
Kalau sudah begini, kepada siapa lagi kita harus bercermin? Para pejabat banyak yang sudah menanggalkan amanahnya dengan terus berlomba-lomba memakan kekayaan rakyat. Mereka sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan golongan tanpa peduli sama sekali dengan sebagian rakyatnya yang masih kelaparan. Hanya sedikit yang masih konsisten dengan komitmen mereka saat menerima jabatan. Jadi untuk menjadi panutan, sungguh tinggal sedikit harapan bagi kita.
Guru-guru kita, yang sering digaungkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Entah tinggal berapa yang benar-benar bisa menjadi panutan. Karena diantara mereka, sudah mulai ketularan budaya para pejabat, melakukan segala cara hanya untuk mencapai materi yang diharapkan. Gurunya saja seperti itu, bagaimana dengan muridnya. Ada pepatah mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kondisi seperti ini jika terus dibudayakan, bagimana nasib Indonesia ke depan? Pasti akan sangat memilukan.
Satu-satunya yang bisa menjadi cermin hanyalah hati nurani kita masing-masing. Sudahkah kita menjadi manusia yang mempunyai hati nurani? Melaksanakan amanah sekecil apapun dengan jujur tanpa berusaha menyinggung kecurangan, kemunafikan, dan pengambilan kesempatan tanpa meningalkan tanggub jawab yang dibebankan. Sikap terpijak adalah, mulai bercermin pada diri sendiri dengan hati nurani sebagai koreksi.


Minggu, 14 Maret 2010

aaaaaaaaaaaaa

Minggu, 21 Juni 2009

ALLOH SELALU MENJAGAKU
Sebuah kejutan. Rabu, 17 Juni 2009 kemarin aku tiba-tiba mendapat telepon dari Republika. Intinya aku lolos seleksi administrasi dan diminta datang ke Jakarta untuk wawancara. Sungguh ini kejutan bagiku, aku yang saat itu masih di sekolah langsung panik, grogi, bingung, pingin pipis, dan fatalnya tidak enak makan. Bukan karena apa-apa, yang langsung terlintas dalam pikiran, aku akan ke Jakarta sendiri? Tak terbayangkan. Aku bisa tidak?
Saat itu juga, aku langsung menghubungi teman-teman yang mungkin bisa dimintai tolong. Satu-satu kuhubungi. Tidak jawaban pasti. Karena bingung, aku sempat membuat gempar teman-teman guru di sekolah. Merekapun menarwarkan bantuan. Tapi hanya sekadar tawaran. Sampai malam, teman-teman belum ada yang memberi jawaban. Ya sudah aku pasrah. insyaAllah ada jalan.
Aku hampir tidak bisa tidur. Hati ini rasanya gelisah. Jujur aku takut, jika harus ke Jakarta sementara aku tidak tahu sama sekali tentang kondisi kota yang sering memberi kabar buruk itu. Aku bangun dan sholat malam. Minta petunjuk dalam sujud. “Ya Allah, kuserahkan diriku padamu. Biarlah Engkau yang mengurusku.” Bisikku dalam doa. Aku hanya meyakinkan hatiku, kalau ini memang baik bagiku, pasti Allah memberi jalan dan memudahkan langkahku.
Hari Kamisnya aku berangkat ke Jakarta. Dari rumah pukul empat sore diantar sepupuku. Sampai terminal aku langsung ke loket bus Sinar Jaya. Ah jurusan Lebak Bulus yang aku tuju tidak ada yang AC. Bakalan mabuk nih. Selesai membeli tiket, aku langsung mencari bis. Bis nomer 22 yang akan membawaku sudah penuh. Aku tidak langsung duduk, tapi langsung bertanya pada sopir apakah nanti lewat Mampang, daerah Republika berada. Jawaban dengan gaya sunda sang sopir membuat aku semakin bingung. Aku memutuskan turun, dan ganti bis. Jurusan Grogol. Inilah awal pertolongan Allah dimulai.
Pukul lima sore bis AC (tapi sangat jauh dari kategori bus AC) baru mulai bergerak meninggalkan terminal Mendolo Wonosobo. Bunyi berderi-derit mulai menjadi tanda betapa melelahkan nanti perjalan yang aku jalani. Syukurlah bis tidak terlalu penuh, jadi aku bisa duduk sendiri. Aku awali perjalananku dengan banyak bertanya dengan penumpang lain. Aku baru tahu bahwa ternyata aku salah bis. Agak panik aku juga. Tapi sudahlah, pasti nanti ada jalan.
Kota demi kota diewati. Sampai di Brebes hujan deras mengguyur bus. Bus yang bertuliskan AC ini bocor. Pak sopir yang kasian, karena air persis bocor di atas kepalanya. Dengan handuk lap keringat beliau tutpi kepalanya. Kondisi seperti ini membuat aku semakin tidak tenang. Aku tidak bisa tidur. Mataku terus terpicing. Rasa mual mulai mengaduk-aduk perutku. Rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi jika ingat aku mau transit di mana?
Kuambil HP di ransel. Ada sebuah pesan. Ah, pesan dari Tiwi adik kosanku yang sekarang kuliah di Jakarta. Aku hampir menangis, karena aku sama sekali tidak ingat sama Tiwi. Setelah aku menjelaskan semua kondisiku, akhirnya Tiwi memberiku tempat untukku. Aku bisa mandi, istirahat. Setelah pasti aku mau dimana, akupun bisa tidur. Tapi tetap tidak bisa nyenyak, pak sopir mengambil jalan pintas dan jalan yang dilewati bergelombang. Bis berjalan seperti melompat-lompat. Aku semakin mual. Hampir mabuk. Kutahan-tahan jangan sampai keluar. Saat aku sudah ndak tahan tiba-tiba bis menepi dan bernebti di sebuah restoran di kota Tegal. Alhamdulilllah.
Aku langsung turun walaupun hujan deras mengguyur. Tempat pertama yang kutuju adalah kamar mandi. Wudhu dan ke mushala untu sholat jamak magrib dan isya.
Selesai sholat aku makan, perus terasa tak nyaman dan menolak makanan yang kumsukkan. Tak ku habiskan, hanya teh panas agak pahit yang ludes dari gelasnya.
Setelah istirahat dan makan perutku jadi lebih enak. Perjalananpun menjadi lebih indah. Karena sebenarnya keindahan itu bergantung pada kondisi hati. Hatiku yang sangat tenang, senang, terharu, bersyukur bercampur jadi satu. Kupandangi bulan kota Cirebon. Indah berkelap-kelip, air mataku mengalir. Betapa Allah menyayangiku dan selalu memberi jalan saat aku benar-benar bingung dan buntu. Ini mungkin hikmah bagiku slah naik bis, karena kosan Tiwi ada di daerah Grogol.
Pukul lima pagi aku sampai di depan kos di Tiwi. Masih gelap. Belum ada yang bangun. Setelah memberitahu bahwa aku sudah di depan, aku langsung ke mushola untuk sholat subuh. Aku tidak mau mengganggu apalagi aku tidak paham karakter orang Jakarta. Tiwi terus minta maaf, dia tidak bis membawa aku masuk karena yang membawa kunci gerbang ibu kosnya, dan Tiwi tidak tahu beliau sekarang dimana.
Aku sitirahat di kamar Tiwi sekitar tiga jam. Panas kota Jakarta mulai terasa di kamar ini. Sekitar pukul sembilan kurang aku berangkat ke Mampang. Jarak antara kosan Tiwi yang ada di Cengakreng dengan Mampang cukup jauh. Aku harus naik angkot kemudian naik trans Jakarta. Mudah sebenarnya tapi karena jauh aku harus gonta-ganti jalur. Allah kembali menolongku. Dia mengirimkan dua orang bersahabat untuk menolongku da menunjukkan arah menuju Mampang. Tapi petunjuk dari mereka dijamin aku pasti kesasar. Alhamdulillah, aku sampai kantor Republika dengan selamat walau satu jam telat.
Aku baru mendapat giliran wawncara setelah pending sholat jum’at. Mantap aku masuk ruang kecil dengan empat orang yang akan mengetahui keseriusanku. Semua pertanyaan bisa aku jawab, walau kadang terbata-bata. Terutama saat aku harus bercerita menggunakan bahasa Inggris tentang perjalanku dari Wonosobo ke Jakarta. Ah, sok pede aku ngomomg aja, walaupun aku tahu banyak kosakata yang salah aku pakai.
Bersambung….. insyaAllah.

Senin, 15 Juni 2009

AKU TAK MENGENALMU TUH!
Ahad kemarin, tepatnya tanggal 14 Juni 2009 aku mengikuti sebuah acara yang diadakan oleh teman-teman Tarbiyah Wonosobo. dari rumah aku sudah telat soale bantu ibu dulu yang juga ada acara di rumah. Pukul setengah sembilan aku baru sampai yang seharusnya sesuai undangan jam tujuh harus sudah standby. malu juga, hehe...
Singkat cerita, setelah acara taujih (materi) panitia melanjutkan acara sejenis game gitu. Inti acara dari game tersebut adalah untuk taaruf (saling mengenal) antar peserta yang banyak didominasi oleh ibu-ibu.
Akhir dari permainan adalah setiap peserta yang sebelumnya dibuat perkelompok diminta untuk menawarkan barang yang aneh, menurutku. Karena memang panitia sengaja ngerjain peserta agar suasana menjadi lucu.
Tibalah kelompokku yang mendapat giliran menawarkan barang. kami diwajibkan menawarkan sebuah sendok dari bahan plastik kecil berwarna pink dan aku yang didaulat menjadi promotornya.
Saat aku maju biasa saja, paling ada beberapa orang yang sudah mengenalku teriak dan memberi semangat. Namun saat suaraku mulai terdengar menawarkan barang, beberapa orang yang tadi memberi semangat tiba-tiba memalingkan muka dan seperti tidak pernah mengenalku. Aku tak tahu penyebabnya, tapi pastinya karena gayaku yang aneh tepatnya norak.
Huuhh...batinku. Tapi aku cuek saja, tetap bicara, dan jauh dari teratur, menawarkan sendok yang ada di tanganku. Setelah tugasku selesai, kudekati teman-temanku namun mereka seperti menjaga jarak. Wah,.. awas ya kalian kataku dalam hati. Cuma sebentar kok, setelah suasana kembali cair mereka akrab dengan pandangan tetap aneh karena tidak percaya ternyata aku ANEH BANGETS....
Atleast, buat pengalaman lah. Tentunya pelajaran yang ku ambil jangan berani ngomomg di depan orang banyak jika kita saja tidak yakin dengan kemampuan kita. hehe...
PISSSS............

Senin, 08 Juni 2009

MENULIS SEKARANG DAN APA ADANYA

Menulis. Wah pekerjaan satu ini memang gampang-gampang sulit. Kata orang-orang yang suka menuangkan isi pikiran ke dalam tulisan sih, menulis itu butuh mood yang baik. Yakni kondisi hati, pikiran, dan lingkungan yang mendukung. Betul nggak sih??
Bisa dibilang betul. Tapi sebenarnya tidak mutlak kok. Kita bisa menulis satu saja kuncinya. Ada kemauan. Itu saja. Walaupun kondisi pikiran, hati, dan lingkungan lagi mendukung banget, tapi jika kita tidak ada kemauan untuk menulis ya hasilnya nol.
Menulis itu butuh pemaksaan. Pemaksaan untuk memencet keybord komputer atau menngerakkan pulpen di atas kertas. Tanpa pemaksaan sulit bagi kita untuk bisa menuangkan ide-ide kita dalam bentuk tulisan.
Kata Bapak Fauzil Adhim sih, tidak ada resep yang lebih baik bagi seorang penulis kecuali dengan menulis sekarang juga. Tuh, jelas tho? Ternyata menulis itu butuh pemaksaan. Apapun yang ada di pikiran kita, tuangkan saja. Tidak perlu memaksakan tulisan kita harus baik. Karena itu hanya akan menghambat kreativitas kita. Tentunya jika kita terlalu terbelenggu dengan tuntutan harus menulis yang bagus dan mendapat penialaian bagus dari orang lain ujung-ujungnya kita tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Menulislah apa adanya. Tanpa dibuat-buat. Jika kita terbiasa menulis, maka kemampuan kita akan semakin terlatih dan tentunya tulisan kita akan semakin baik. Menulis tidak perlu mood. Karena mood akan muncul saat kita memunculkan semangat untuk menuangkan kebenaran, ilmu, atau pengetahuan kita dalam bentuk tulisan.
Satu lagi. Kita akan mudah dalam menulis jika kita banyak membaca. Dengan membaca cakrawala pikiran kita akan terbuka. Banyak membaca juga membuat kita tahu cara dan gaya para penulis dalam menuangkan ide-ide mereka. Tentunya akan menjadi referensi bagi kita untuk mencobanya. Menulis dan membaca ibarat sepasang kekasih. Keduanya saling membutuhkan.
Jadi mulai sekarang, jangan cari-cari alasan untuk malas menulis. Kebiasaan seperti itu akan membuat kita terbiasa dan nyaman. Alhasil kita akan menjadi penulis yang tidak sukses menulis. Dukung kemampuan menulis kita dengan banyak membaca. Dengan dua hal tersebut insyaAllah kita akan menjadi penulis hebat. Minimal hebat menurut kita, karena mampu dan mau memulai untuk menulis. Semangat!!
Jurnalis, antara Cita-cita dan Hobi

Sejak kecil, saat saya tidak tahu apapun tentang dunia jurnalis, menjadi wartawan adalah cita-cita yang harus tercapai. Sederhana sekali alasannya. Saya beranggapan, seorang wartawan itu sangat keren (kemanapun memakai rompi dan membawa kamera). Walaupun dulu saya sering ditakut-takuti saudara kembar saya, berbahaya menjadi wartawan (saat itu banyak terjadi pembunuhan terhadap wartawan) saya tidak takut, bahkan semakin tertantang. Sekarang menjadi wartawan adalah penyaluran hobi dan tentunya sebagai salah satu bentuk ibadah.
Membaca, menulis dan berpetualang adalah kegiatan saya, hampir setiap hari. Menjadi seorang wartawan, sebagai pemburu berita merupakan kegiatan yang sesuai untuk penyaluran hobi saya. Tapi yang terpenting, menjadi seorang wartawan adalah agar bisa menyalurkan informasi kepada masyarakat. Memberi informasi yang jujur, up to date, apa adanya, mendidik, ke semua lapisan masyarakat, dan bermanfaat adalah harapan saya.Banyak lapisan masyarakat, khususnya daerah terpencil (termasuk tempat tinggal saya) yang kurang tersentuh perkembangan informasi membuat saya sangat sedih. Maraknya orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan, termasuk memutarbalikkan fakta, juga membuat saya geram. Kedua hal tersebut, menjadi pendorong bagi saya agar bisa menjadi wartawan. Saya bertekad, akan menjadi wartawan yang dapat memberikan informasi untuk semua lapisan masyarakat. Informasi yang benar dan tidak merugikan. Informasi yang memang harus diketahui oleh semua orang. Tujuan saya agar dapat memberi sedikit perubahan bagi peradaban pemikiran masyarakat Indonesia, yang tentunya akan sedikit berperan dalam perubahan peradaban bangsa Indonesia, menjadi masyarakat yang cerdas dan lebih baik. Insya Allah

Mengenai Saya

Foto saya
orang bilang sih cantik (hehe...soale tak paksa) gemar menulis, gemar membaca, gemar makan, gemar melamun, gemar nglayap, gemar tidur, pokoknya yang asik2 suka deh. aku sekarang jadi guru...terpaksa daripada dibilang pengangguran, tapi itu sementara kok. nanti saat waktunya tiba aku akan jadi presiden, haha dalam mimpi kali. yang pasti, aku adalah manusia jauh dari sempurna yang tetap mencoba, berusaha, latihan, berdoa, untuk menjadi lebih baik dan diridhoi Allah. InsyaAllah. Amin....